Jangan Sampai Tanpa Terasa Kita Menabung Banyak Luka di Jiwa Anak-Anak Kita..
Saya sedang membaca buku Menjadi Orang Tua yang Asyik karya Bunda Wening saat kemudian saya terhenti sejenak di halaman 50, membaca sebuah curhatan ibu yang membuat saya seketika menangis berderai-derai.
Ibu itu bercerita, dia baru saja meminta anak pertamanya yang berusia 9 tahun kelas 3 SD untuk membantunya mencuci piring bekas makannya sendiri. Dia meminta anaknya dengan lembut. Tapi anaknya menolak dengan tegas, dan dengan gamblang dia berkata, "Dulu waktu aku kecil, aku mau bantu mama cuci piring, tapi malah dimarahin."
Ibu itu speechless mendengar alasan polos anaknya sendiri dan lalu mengingat lagi, kejadian yang diungkapkan anaknya itu memang pernah terjadi saat anaknya berusia 3 tahun. Astagfirullah, betapa luka yang tertoreh di hati anak itu membekas hingga ke dalam jiwanya selama bertahun-tahun.
Saya menangis, karena saya pernah merasakan apa yang dirasakan si anak. Saya tau bagaimana rasanya, bagaimana sakitnya. Tiba-tiba dada saya terasa sesak. Memori masa kecil saya seketika berkelebat bersahutan dari satu kejadian ke kejadian yang lain. Momen menyakitkan yang tak pernah dengan sengaja saya simpan tiba-tiba muncul berhamburan. Mungkin ibu saya dulu juga tak sengaja melakukan itu karena jaman dulu ilmu parenting bukanlah topik yang banyak diperhatikan. Saya pun telah ikhlas memaafkan dan melupakan karena saya yakin ibu saya tak bermaksud demikian. Tapi di saat-saat tertentu, memori itu seringkali muncul lagi menguji keimanan. Astagfirullah.
Kemudian, saya mencoba mengingat-ingat pola asuh saya ke Qairina. Pernahkah saya melakukan hal yang sama kepadanya? Pernahkah saya membentaknya, memarahinya, merusak fitrah kemandirian dan inisiatif membantunya dengan alasan 'bikin lama dan berantakan aja'? Saya takut sekali ada satu dua atau bahkan banyak luka yang tak sengaja saya goreskan padanya. Karena sekali tertoreh, luka itu akan sulit terhapus di memori nya.
***
Di sebuah sesi parenting Tim Cetar, para Book Advisor membahas tentang negative innerchild. Masya Allah, banyak sekali cerita yang menyesakkan dada tentang luka masa lalu yang (tak sengaja) dilakukan oleh orang tuanya. Hingga saat mereka jadi ibu, mereka sangat tersiksa saat ilmu parenting mereka bisa tiba-tiba menguap begitu saja saat innerchild itu memunculkan emosi aslinya.
Baca juga: Ketika istri ngomel dan marah marah, diamlah..Biarkan ia mengeluarkan amarahnya..
Betapa luka saat mereka masih balita, SD, hingga remaja masih terasa sakit bahkan sampai mereka telah berkeluarga dan mengasuh anak-anaknya. Memori ibu yang pemarah, kata-kata menyakitkan yang pernah terlontar, sabetan atau pukulan yang pernah menyentuh tubuh, hingga kediktatoran dan egoisme yang tinggi dari ayah ibu telah membekas sedemikian rupa membentuk pribadi mereka.
Betapa meskipun buku-buku parenting lahap dibacanya, amarah tetap sulit reda saat anak rewel gak kira-kira.
Betapa sering pun kesadaran harus berubah terus ditanamkan, reflek memarahi dan memukul buah hati tetap tak kunjung berhenti.
Betapa teriakan, bentakan, hingga pukulan seakan begitu ringan muncul saat menemukan situasi yang sama saat innerchild itu terbentuk di masa silam.
Astagfirullah, betapa mengerikan efek 'dosa jariyah' berupa pola asuh yang penuh amarah dan kediktatoran.
Untuk memutus mata rantai nya, harus ada seseorang yang mampu berdamai dengan masa lalu yang boleh jadi prosesnya begitu menyakitkan dan memakan waktu yang tak sebentar.
Baca juga: Ingin Anak Selalu Ceria? Yuk, Coba Terapkan Pola Asuh Berikut Ini..
***
Tadi malam, saya mengikuti kelas matrikulasi institut ibu profesional. Bahasan minggu ini temanya tentang membangun peradaban dari rumah. Yang salah satu materinya adalah imbauan untuk melepas innerchild pola asuh di masa kecil yang pernah menorehkan luka.
Lalu saat diskusi berlangsung, bermunculan lah pertanyaan yang sama dari para peserta, bagaimana menyembuhkan luka pengasuhan di waktu kecil dulu agar tidak kembali mewariskannya pada anak cucu dan agar sekarang bisa menjadi ibu yang benar-benar baru?
Masya Allah, ternyata banyak sekali para ibu baru yang masih terjebak dalam innerchildnya. Masing-masing tertatih-tatih menata hati, mencoba berdamai dengan diri sendiri, mencoba memaklumi apa yang dulu dialami, mencoba memaafkan kesalahan pengasuhan orang tua sendiri, mencoba menahan diri untuk tak lagi mengulangi. Lalu kemudian sekuat tenaga berusaha menjadi orang tua yang lebih bijak mengasuh dan mendidik anak sendiri. Semua demi memutus mata rantai yang jika tak diputus sekarang akan terwariskangg pada anak cucu nanti.
***
Dari semua itu saya belajar. Seorang anak mungkin saja bisa memaafkan kesalahan orang tuanya saat mendidiknya di usia belia. Tapi, luka karena kesalahan itu boleh jadi akan tetap membekas hingga dia tumbuh dewasa, bahkan sampai dia membangun keluarga dan menua.
Kata Bunda Wening, semua kejadian dan peristiwa yang dilihat, dirasakan, dan dialami seorang anak akan masuk ke pikiran bawah sadarnya dan tersimpan di memori jangka panjang. Padahal, semua yang masuk ke memori jangka panjang tidak akan pernah hilang dan hanya perlu di-recall atau justru akan me-recall otomatis ketika menemui hal yang sama, seperti contoh anak yang dimintai tolong mencuci piring bekas makannya di atas.
Baca juga: INILAH 13 Sifat Suami yang Bertanggung Jawab Dalam Keluarga..
Duh bayangkan jika di usia balitanya kita sering marah-marah sama anak kita. Bayangkan jika di usia balitanya kita sering membentak, menghardik, atau bahkan memukul anak kita. Dan lalu semua itu terekam di memori jangka panjangnya. Mampukah kita menanggung sakit hatinya? Tegakah kita membuatnya menyimpan luka seumur hidupnya?
Melihat sesama ibu yang berjuang menyembuhkan innerchild nya, sungguh perkara membentak, memukul, atau marah-marah sama anak itu bukanlah perkara sederhana. Ada luka yang akan membekas selamanya. Ada jiwa yang kehilangan cinta pada orang tuanya. Siapkah kita bertanggungjawab atas semuanya?
Maka, pak, bu,
Meski tidaklah mudah mengelola emosi yang muncul begitu saja saat menemui anak yang banyak tingkahnya, sebisa mungkin tahaaaan amarah kita, telan bulat-bulat kata-kata kasar yang akan terlontar dari mulut kita, pegang tangan kita jangan sampai terayun ke badan mereka.
Sabar.
Sabar.
Sabar.
Jangan sampai tanpa terasa, alih-alih mengisi tangki jiwa anak kita dengan cinta, kita justru menabung banyak luka di jiwanya. Yang boleh jadi akan membekas selama hidupnya.
Karena anak itu kita sendiri yang meminta kehadirannya pada Tuhan alam semesta, lalu kenapa setelah dia lahir kita justru lebih sering memarahinya?
*menulis untuk mengingatkan diri sendiri
~Novika Amelia~
Komentar
Posting Komentar