Seperti Ini Cara Terbaik Untuk Mengatakan Cemburu Kepada Suami
“Rin, kamu tahu gak gimana ya caranya misahin si Mbak F itu supaya gak deket-deket sama suamiku?”
“Sampaikan saja sama suami, jaga jarak, bicara seperlunya, beres, masalah selesai”
“Tapi Mas Gilang itu malah marah sama aku. Katanya aku lebay, gak percaya sama dia, meragukan kesetiaan dia. Duh, padahal kalau kamu mau tahu, setiap aku ke ruangan Mas Gilang, Mbak F itu seperti sengaja gitu deket-deket sama Mas Gilang, pura-pura tanya ini tanya itu, dengan pose duduk yang aduh… kayak gak ada kursi lain aja di ruangan, masak iya harus nempel-nempel deket meja Mas Gilang…yang kutangkap ya, Mbak F itu sengaja pengen nunjukin ke aku kalau dia itu emang deket sama Mas Gilang… sebel banget gak sih..”
“Trus?”
“Aku ilfeel banget deh pokoknya sama Mbak F itu, kenapa sih harus dia yang jadi rekan kerja Mas Gilang? di rumah aku jadi sering uring-uringan gak jelas sekarang…bawaannya gak mood aja, apalagi kalau lihat Mas Gilang, bawaan jadi curiga mulu”
“Mas Gilang sendiri gimana?”
“Ya gak gimana-gimana, dia biasa aja tuh, masih suka balesin sms sama terima telefonnya Mbak F, padahal gak penting-penting amat, bisa dibahas di kantor juga, gak harus di rumah gitu… kalau ku ingetin, katanya nanti gak enak sama Mbak F, dikira lagi ada apa. Trus aku? aku lho Rin… aku kan isterinya… emang gak cukup gitu ya rapat-rapat di kantor? sampai harus rapat lanjutan di telefon? hhhhh…. rasanya tuh…”
***
Saya jadi ingat percakapan saya dengan Carra (nama samaran) yang resah perihal Mas Gilangnya. Waktu itu, saya menyarankan padanya untuk mencari saat yang tepat untuk mengungkapkan ‘ketidaknyamannya’ itu pada Mas Gilang.
“Jangan diluapkan saat masih ‘panas’ atau saat Mas Gilang baru pulang kantor, tunggu saat rileksnya…tunggu sampai ada waktu yang pas berdua saja…”
Saya mencoba mengingat-ingat peristiwa Carra ini dengan yang dialami seorang ibu muda dengan kisah yang hampir mirip, dengan level yang lebih terbuka dan berani, tentang bagaimana menghadapi seorang perempuan yang secara terang-terangan menyatakan perasaan suka terhadap suaminya, terang-terangan mendekati suaminya, sementara suaminya tak enak hati melakukan penolakan.
Juga dengan pernyataan yang hampir mirip dengan apa yang dikatakan Mas Gilang, “Kamu jangan berlebihan dek, aku bukan tipe suami yang begitu, masak kamu gak percaya sama aku, lagipula biar bagaimanapun dia itu kan sahabat kamu juga”.
Setelah menikah, pasangan kita adalah orang yang paling berhak dicemburui, dipertahankan, dan dijaga. Sementara kita, kita adalah orang yang paling berhak mencemburui.
Banyak dari pasangan yang setelah menikah, merasa risih saat isteri atau suaminya mengungkapkan kecemburuannya, terutama pada hal-hal kecil yang menurutnya tidak perlu dipermasalahkan. Seperti kasus Carra misalnya. Sementara, banyak yang lupa, bahwa setelah menikah, apapun yang melekat pada diri seorang isteri, mulai ujung rambut hingga ujung kaki adalah hak dari suaminya.
Suaminya adalah orang yang paling berhak menikmati kecantikannya, kecerdasannya, kelihaiannya, dan segala sesuatu yang melekat pada itu, luar dalam. Sehingga dalam sebuah pernikahan, pandangan seorang suami terhadap isterinya bernilai ibadah, senyuman seorang isteri terhadap suaminya bernilai ibadah, menyenangkan pasangannya bernilai ibadah, lebih dari itu apalagi, semuanya bernilai ibadah.
Sebaliknya, tidak hanya isteri, seorang suami juga bahkan dituntut untuk menyenangkan pandangan isterinya. Menjaga dirinya dari hal-hal yang tidak disukai oleh isterinya, sebab hak seorang isteri sepadan dengan kewajibannya terhadap suaminya. Karena itu, adalah penting membangun komunikasi antara suami-isteri tentang apa-apa yang meresahkan dan mengganggu terhadap hubungan yang terjalin.
Tidak perlu merasa risih atau mengganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan, sebab setelah menikah, pasangan kita adalah orang yang paling berhak dicemburui, dipertahankan dan dijaga. Sementara kita, kita adalah orang yang paling berhak mencemburui. Bukan yang lebih berhak, atau yang berhak, tapi yang paling berhak.
Sensitivitas pasangan saat mengungkapkan kecemburuan juga bukan serta merta adalah hal yang berlebihan, sebab bisa jadi hal itu tumbuh seiring dengan pertumbuhan perasaan, cinta dan kedekatan hubungan.
Saya mengenal seseorang yang bahkan tidak mengizinkan suaminya mengangkat handphone miliknya jika nama yang tertera di sana adalah nama teman wanitanya, meski saat itu ia sedang tidak dapat mengangkat handphone, sedang memasak di dapur atau sedang di kamar mandi. Saya juga mengenal seorang suami yang tidak mengizinkan isterinya mengupload foto-foto selfie, foto-foto pribadi di akun jejaring sosialnya karena bagi suaminya kecantikan isterinya itu hanya untuk dinikmatinya saja, bukan dipajang bebas di tempat umum.
Kesannya berlebihan? tidak juga, bagi saya, semestinya memang begitu, selama itu dikomunikasikan, dan keduanya merasa nyaman, sah-sah saja, halalan, dan sekali lagi, semuanya bernilai ibadah.
Aneh dan janggal rasanya, jika seorang isteri mengumbar aurat, tidak ada rasa cemburu pada suaminya. Atau ada perempuan yang sedang menggoda suaminya, lantas tidak ada rasa cemburu pada isterinya.
Pada dasarnya perasaan cemburu adalah sebuah anugerah, jika dapat dikelola dengan baik. Masalahnya, adalah saat pasangan yang dicemburui ternyata tidak menerima itu, marah atau melakukan penolakan. Seperti Mas Gilang misalnya, maka hal yang dapat dilakukan adalah mencoba memutar balik keadaan.
Untuk saya, cara ini sangat efektif. Sebagai permisalan, saat sedang berjauhan, kami sering bertanya satu sama lain tentang apa saja yang sudah terjadi hari ini, percakapan yang sering terjadi biasanya seperti ini,
“Tadi ketemu siapa aja?”
“Ketemu si A…si B…si C…”
“Gimana kabarnya mereka?”
“Sepertinya baik..”
“Lho emang kalian gak ngobrol..”
“Cuma say hello dan senyum. Memangnya kamu mau aku ngobrol kesana kemari, cekikikan gitu…”
hening cukup lama,
“Ya gak lah, aku gak mau kamu ngobrol dengan non mahrom tanpa ada aku di sana”
atau misalnya, saat salah satu dari kami menerima pesan pribadi dari kawan lain jenis,
“Udah gak usah dibalas, entar keterusan.. “
“Gak enak, ini temen lama…”
“Emangnya kamu mau kalau gak ada kamu, aku asyik bbm-an sama yang lain?”
“Ya jelas gak maulah..”
Jadi, untuk kasus Carra atau ibu muda tadi, saat berkomunikasi dengan pasangannya, bisa mencoba memutar balik keadaan, memisalkan seandainya dirinya yang berada pada posisi suaminya.
“Kamu gimana kalau ada laki-laki yang ternyata ngejar aku, dan suka sama aku…”
“Enak aja, ya pasti udah aku labrak dia…”
Itu permisalan saja, hasilnya juga permisalan saja, yang ada dibenak saya seperti itu, karena biasanya laki-laki lebih frontal saat cemburu.
Seorang suami adalah pakaian bagi isterinya, seorang isteri adalah pakaian untuk suaminya.
Setelah terbiasa berkomunikasi dengan pasangan, yang terjadi selanjutnya adalah pembiasaan. Seorang isteri akan terbiasa dengan penjagaan dirinya terhadap hal-hal yang tidak disukai oleh suaminya. Seorang suami akan terbiasa dengan penjagaan dirinya terhadap hal-hal yang tidak disukai oleh isterinya. Saling menjaga, saling mempertahankan, saling mengingatkan, saling menguatkan.
Di lain tempat, saya pernah mendapati seorang isteri yang sedang bersedih lantaran suaminya ternyata berhubungan lagi dengan seseorang di masa lalunya. Ini bisa terjadi bukan hanya di pihak suami, tetapi juga bisa menimpa isteri. Adalah perlu untuk mengingat, bahwa ketika akad pernikahan telah terucap, lupakan semua hal, kejadian, seseorang yang terjadi di masa yang lalu, dan buka lembaran baru dengan harapan yang baik bersama pasangan di masa depan. InshaAllah akan ada barokah di balik pernikahan dengan awalan niat yang baik, apalagi jika niatan itu lillah, karena Allah, dan mengharap ridlo Allah.
Tetapi jika seseorang di masa lalu pada akhirnya menjadi batu sandungan dalam bahtera pernikahan, ingatlah bahwa kebaikan pasangan, apa yang telah dilakukannya, kerja kerasnya, perjuangannya, di hari ini, tidak pernah sebanding dengan orang yang tiba-tiba datang hanya sekejap.
Syaithon biasanya akan membisikkan keindahan, dan menguji dengan bayangan-bayangan indah dengan bungkus ‘mengenang masa lalu’. Sementara, kenyataannya bisa saja tak seindah perkiraan. Ingat, bahwa seorang suami adalah pakaian bagi isterinya, seorang isteri adalah pakaian untuk suaminya. Jadilah sebaik-baik pakaian untuk pasangan, yang melindungi, menghangatkan, dan mengindahkan.
Jaga diri, inshaAllah Allah akan menjagakan pasangan kita untuk kita.
Komentar
Posting Komentar